生き残ったバリ人戦友が語る残留日本兵
Bung Ali Waja Ketut Soga
Canggu Gunung Selamat
Waja


デワ・プトゥの語るところによると、
彼は、インドネシアの独立のために魂を捧げた日本人であった。
彼は、インドネシア独立のためには死んでもよい、
独立しなければ日本に帰らないと語っていた。
彼は他の日本人と同じく目が細く肌が白く身長は165cmであった。
彼は紳士的であり、バドゥンに沢山の友人がいた。

ニョマンブレレン(平良定三)によれば、
年齢は彼とほぼ同じであったという。

知っているものの証言によれば、彼はとても勇敢であった。
敵が逃げればそれをどこまでも追いかけた。
彼はいつも前へ前へと進むのでバリ人の誰もが彼についていけなかった。
バリ人は、バリ人の精神力はまだまだ弱い、
それに比べて日本人はとても勇敢であることを彼から学んだ。

彼にも欠点はあった。
策略することなく、無茶をしすぎることがあるのだ。
1946
613日のボンでの戦いの時であった。
彼は逃げる敵を追って行った。
その追い方が激しいのでバリ人の誰もがついていけなかった。
が、ただ、ひとりだけ彼についてくバリ人がいた。
そのバリ人はオランダのスパイであった。
ボンの村に近づいたとき、そのスパイは、
「腹が空いたでしょう」
「村に行って何か食料を探してくるのでここで待ってください」
と言って、村に入って行ったのだ。
オランダ軍に彼がひとりであることを通報に行ったのだった。

彼はその男がしばらくしても戻って来ないので、
さすがに騙されたことを気付いた。
彼は後退を始めた。
しかし、その時は、もうオランダ軍が彼を追い始めていた。
ある川のほとりでついに見つかり鉄砲で撃たれた。
数発が彼を直撃した。
撃たれた彼は、そのまま川に飛び込んだ。
Semanik
の東の方を流れる川であった。
その川に消えた彼を見て、
オランダ軍は弾が当たり死んだものと思いその場を去った。

彼はすぐには死ななかった。
そこからだいぶ離れた川の中の大きな岩にたどり着いてそこで命が尽きた。
その大きな岩は赤い色をしており、
村の人からは精霊が宿っていると恐れられている岩であった。

村人は、精霊がワジャをここまで運んできたと噂した。
その噂を聞いてバリ軍はあとでその地を探した。
彼は大岩によりかかる格好で絶命していた。
バリ軍は、彼をその岩から運び出し、デサ・プラで埋葬した。

彼は日本人であった。
しかし、インドネシア独立のために生命を投げ出した。
こうした彼の行動を将来とも忘れてはならない。


(註)

彼がオランダ軍と戦かった「ボン」や、死亡した「スマニックの川」は、
ブラタン湖の東側、5~10キロの範囲にある。
密林地帯であり、比較的に人家が少ないところである。
人家が少ないからこそ、
彼の死亡した経緯の言い伝えが残っているような気がしてならない。
いつの日か、現地に行って調査したい。

(原文)
Salah seorang bala tentara Jepang yang telah berganti nama menjadi nama Indonesia ini mulai muncul ketika terjadi pertempuran pada tanggal 13 Juni 1946. Menurut penuturan Dewa Putu Ceped, orang Jepang yang bernama I Waja ini memang betul-betul jiwa raganya diserahkan kepada orang Bali dalam upaya membela kemerdekaan RI. Beliau rela mengorbankan jiwa raganya demi bangsa Indonesia. Beliau sangat malu bila kembali ke Jepang.
Sebagaimana orang Jepang yang lain, I Waja mempunyai kulit yang kuning bermata sipit dengan tinggi badan kurang lebib 165 cm. Beliau sangat akrab dengan masyarakat Bali khususnya yang berada di Badung Tengah dan Utara. Menurut penuturan Nyoman Buleleng(Jeang). I Waja memang benar bekas serdadu Jepang. Namun, kata I Nyoman Buleleng yang telah rnenjadi warga Indonesia itu, keluarga dan asal I Waja di Jepang masih perlu ditelusuri. Lebih lanjut dikatakan bahwa usianya hampir sebaya dengan dirinya. Berdasarkan informasi dari beberapa orang anggota Veteran RI yang dihubungi, I Waja telah menggabungkan diri di Munduk Malang dengan pasukan Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBU DPRI) dalam rangka “Long March Gunung Agung”.
Para tokoh Veteran RI dan Belok Sidan menuturkan, bahwa I Waja sangat pemberani. beliau berani mengejar musuh yang lari setelah pertempuran Bon. Galaknya seperti Singa yang akan menyergap serigala. Matanya seolah-olah mengeluarkan sinar sehingga musuh menjadi ketakutan. Jurang yang dalam, semak-semak yang penuh dengan duri, tebing yang tinggi dan terjal tidak mematahkan semangatnya untuk mengadakan penghalauan terhadap musuh. Sungguh luar biasa, ucap beberapa orang tokoh Veteran RI dan Badung Utara. Penghormatan apakah yang patut diberikan kepadanya, tambahnya. Seorang tokoh Veteran RI mengatakan, bahwa dan segi semangat bangsa kita sangat jauh ketinggalan. Orang Jepang berani demikian, mengapa kita yang memiliki bumi ini tidak berani seperti itu.
Namun sayang seribu sayang, I Waja kurang perhitungan dan kurang memikirkan situasi dan kondisi. Ketika sampai di sebuah tegaan disebelah Selatan Tinggan beliau tersesat. Barulah beliau berpikir, di sana sebenarnya beliau berada dan mengapa bangsa Indonesia khususnya pemuda Bali tidak ada yang berani mengikuti jejaknya. Beliau sangat kesal dan seoah-olah mengutuk pejuang kita sebagai pengecut. Maunya beliau bertanya namun seorangpun tidak ada penduduk di sana. Yang beliau dengar hanya suara binatang hutan saling bersahutan. Baginya seolah-olah menyambut dengan ksatria. Hal ini tidak membuat beliau kecut, bahkan bisa menambah semangatnya untuk melanjutkan perjuangan sampai titik darah yang penghabisan demi bangsa dan negara Indonesia, Ayo rela berkorban demi bangsa Indonesia, demikian pikirannya.
Saat kebingungan tersebut, akhirnya datanglah seorang penduduk aneh dan mendekat pada I Waja. Dilihat sepintas oleh I Waja, orang itu menunjukkan muka yang seolah-olah akan membantu. Namun, beliau tidak mengetabui bagaimana sebenarnya isi hati orang tersebut. Walaupun dalam keadaan bimbang, beliau pun dengan terpaksa menghilangkan kebimbangannya itu, karena satu-satunya orang tersebut yang ada di kawasan itu. Orang yang berlagak pendeta Baka itu ternyata adalah penduduk pribumi yang telah dipengaruhi oleh Netherlands Indies Civil Admnisation (NICA). Lebih tepat dikatakan sebaga NICA Bali. Maksudnya orang Bali yang menjadi NICA yang berarti mau menjual negeri ini kepada bangsa lain. Pedanda Bakapun berlagak membantu. Orang ini persis seperti Sekuni dalam tokoh pewayangan. Banyak akal, licik, pembohong, teman sendiripun kadang-kadang musuh baginya. Ternyata Sang Baka corah itu mengeluarkan tawaran dengan manis.
“Tuan pasti lapar ya sebentar saya carikan makanan asal tuan mau menunggu”. Setelah menawarkan niat baik dengan alasan akan mencari makanan akhirnya orang itu pun pergi.
I Waja yang memang belum mengetahui situasi dan kondisi di sana, menoleh ke sana ke sini sambil menunggu orang tersebut. Menjelang pergi orang tersebut bahkan sempat menawarkan kepada I Waja akan diantar sampai di desa Bon. Tanggal 13 Juni 1946 sekitar jam 16.00 keadaan di tegalan itu sudah remang-remang. Saat remang-remang itulah orang tadi membawa NICA lengkap dengan senjata satu regu. Melihat hal yang mencurigakan itu I Waja yang telah berpengalaman dalam peperangara sebagai serdadu Jepang tidak tinggal diam. BeIiau mengambil langkah seribu untuk melarikan diri ke arah barat. Serdadu NICA melihat I Waja lari, semuanya mempersiakan senapan dan langsung mengarahkan pada I Waja. Tar…. Demikian kedengaran tembakan itu. Dalam hati serdadu NICA itu mungkin mengatakan ‘Mampus kau kucing yang nakal’. I Waja yang bernasib sial itu berlumuran darah, karena beberapa peluru mengenai tubuhnya. Dalam keadaan susah payah. akhirnya beliau dapat menyelamatkan diri dengan cara menerjunkan diri ke dalam sungai yang begitu dalam. Namun berkat rahmat Yang Maha Kuasa, beliau terlepas dari panggilan terakhir, yaitu mati. Dernikian batunya banyak bergigi di sungai, semuanya minggir. Sungguh luar biasa. Dengan susah payah dengan cara menggapai-gapai tepi sungai, akhirnya beliau sampai pada sebuah batu besar yang warnanya agak kemerah-merahan. Konon, berdasarkan cerita orang Bali bahwa batu yang besar yang berwarna merah ada penghuninya. Katanya penghuninya adalah roh halus alias Wong Samar. Mungkin saja I Waja dibantu oleh roh halus sehingga terlindung di batu itu. Sungai tempat persembunyian itu terletak di sebelah Timur Banjar Semanik.
Darah merupakan kekuatan manusia. Bila seseorang kekurangan darah maka Ia akan lemas, Buktinya kalau manusia darahnva banyak yang ke luar, Ia akan segera lemas. Demikian halnya dengan I Waja dengan banyaknya darah yang ke luar akibat kena tembakan NICA, tubuhnya semakin lemas. Dengan cedera darah I Waja, NICA pun segera menelusuri di mana sebenarnya I Waja bersernbunyi. NICA telah menyangka bahwa I Waja telah “Nyeleketek” alias mampus. Entah dari mana datangnya kekuatan atau tenaga I Waja segera beliau bersiap ketika NICA telah berada di depannya dengan jarak lebih kurang lima meter. Beliau pun segera melakukan tembakan sehingga NICA yang paling depan mampus kena tembakan. Ada yang beranggapan bahwa dalam melakukan tembakan itu I Waja dibantu oleh Wong Samar yang berada di batu itu.
I Waja yang demikian dengan susah payah dapat rnenyelamatkan diri akhirnya tidak tahan karena darahnya banyak ke luar. Beliau menghembuskan napas terakhir dalam keadaan bersandar di batu tersebut. Walaupun beliau berkebangsaan Jepang, namanya patut dikenang sepanjang masa karena membela Negara Kesatuan RI. Para pemuda pejuang khususnya yang ada di desa Pelaga akhirnya mendengar bahwa I Waja gugur pada sebuah sungai di sebelah Timur Semanik. Dengan serta merta sejumlah pemuda berangkat ke tempat tersebut untuk mengangkut mayatnya. Setelah diangkut, dikuburkan di kuburan Pelaga. Di antaranya yang ikut menguburkan adalah I Wayan Rebo.